SPI - Sistim Demokrasi Liberal Awal kemerdekaan


Kata Pengantar

Assalamualaikum war, wab.
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat, berkat dan bimbinganNya lah maka tugas makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah “Sistem Politik Indonesia” yang ditugaskan oleh Bapak Drs. Irwan Waris M.si. Adapun tema tugas yang diberikan yakni tentang “Pelaksanaan Sistem Politik Liberal di Masa Awal Kemerdekaan” yang di dalamnya menceritakan secara singkat mengenai sejarah, latar belakang dan perkembangan sistem poltik liberal di awal kemerdekaan Indonesia.

Penulisan tugas ini dikerjakan berdasarkan atas referensi dari berbagai sumber. Dan untuk memudahkan, penulis sengaja membubuhkan catatan kaki pada setiap tulisan yang merupakan kutipan dari sumber-sumber referensi tersebut.

 Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang turut membantu dalam penyelesaian tugas ini sehingga tepat pada waktunya.
Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan yang disebabkan oleh keterbatasan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Amin.
 Wassalamualaikum war, wab.









Penulis




Pendahuluan
Liberalisme merupakan suatu paham, falsafah dan tradisi politik yang meletakkan kebebasan sebagai nilai politik yang tertinggi. Walaupun liberalisme berasal dari Zaman Kebangkitan Barat, ia sekarang mengandungi pemikiran politik yang luas dan kaya dari segi sumber. Seseorang yang menerima fahaman liberalisme disebut dengan seorang liberal. Walau bagaimanapun, maksud perkataan liberal mungkin berubah mengikut konteks sesebuah negara.
Pada pelaksanaannya liberalisme mengutamakan hak-hak peribadi. Falsafah ini ingin membentuk satu masyarakat yang mempertahankan pemikiran yang bebas untuk setiap orang, batasan kepada kuasa khususnya kuasa kerajaan dan agama, kedaulatan undang-undang, pendidikan awam yang percuma, kebebasan bertukar fikiran, ekonomi pasaran yang memberikan kebebasan menjalankan perusahaan peribadi dan sistem kerajaan yang terbuka yang melindungi hak-hak semua rakyat secara adil dan saksama. Di dalam masyarakat moden, mereka yang liberal mengemari sistem pengundian yang adil dan terbuka di dalam sistem demokrasi liberal di mana semua rakyat mempunyai hak-hak yang sama rata di bawah undang-undang dan peluang yang saksama untuk berjaya.
 Penggunaan frasa liberalisme secara praktek dilihat dari konteks demokrasi liberal.  Dalam arti kata ini, ia merujuk kepada kuasa kerajaan dan hak-hak rakyat yang jelas. Liberalisme dipakai oleh hampir kesemua demokrasi Barat. Oleh itu, liberalisme tidak semestinya berkaitan kepada parti politik liberal secara esklusif.
Dalam sistem pemerintahannya, Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan ideologi demokrasi. Di masa awal kemerdekaan Indonesia, demokrasi liberal mendominasi literatur pemikiran para pendiri negara (founding fathers). Ideologi ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap perumusan Undang-Undang Dasar 1945, sistem pemerintahan, dan juga sistem ekonomi Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 telah berlaku di empat periode kepemerintahan, masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi. Semuanya ternyata menunjukkan  corak dan karakter kepemerintahan yang berbeda satu periode dengan periode lainnya.
Di masa kemerdekaan, meski berlaku tiga macam Undang-Undang Dasar (UUD 1945, UUD RIS dan UUDS 1950) namun kehidupan sistem demokrasi dapat berjalan dan hukum dapat ditegakkan. Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali berlaku dan dinyatakan penggunaan sistem Demokrasi Terpimpin, namun yang berlaku sistem otoritarian (Hatta, Demokrasi Kita, 1960).[1]
Konfli-konflik serta perbedaan pandanganlah yang menyebabkan sistem demokrasi di Indonesia mengalami bebeapa fase perubahan sejak awal kemerdekaan, sebab setiap orang terutama para penguasa memiliki pandangan tersendiri terhadap demokrasi, sehingga demokrasi memiliki makna yang berbeda-beda.

BAB I
Demokrasi dan Liberalisme

1.      Pengertian
a.      Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Menurut Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.si. demokrasi secara etimologi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratein” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan, jadi “demos-cratein” atau demokrasi adalah keadaan suatu negara dimana dalam sistem pemerintahannya, kedaulatannya di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat.[2]
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas atau independen dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.


b.      Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mengusahakan suatu masyarakat yang dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu, pembatasan kekuasaan, khususnya dari pemerintah dan agama, penegakan hukum, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, yang di dalamnya hak-hak kaum minoritas dijamin. Dalam masyarakat modern, kaum liberal lebih menyukai demokrasi liberal dengan pemilihan umum yang terbuka dan adil, di mana semua warga negara mempunyai hak yang sederajat oleh hukum dan mempunyai kesempatan yang sama untuk berhasil.
Dalam pelaksanaannya demokrasi sangat kental dengan liberalisme, sehingga demokrasi dalam aplikasinya baik politik maupun ekonomi selalu dikaitkan dangan sistem politik liberal dan sistem ekonominya yang kapitalis.
2.      Demokrasi Liberal di Indonesia
Penjajahan Belanda selama tiga setengah abad, disusul oleh fasisme Jepang, mengakibatkan dampak yang sangat buruk terhadap pembentukan fondasi demokrasi Indonesia. Di satu pihak, Belanda tidak meninggalkan lembaga demokrasi yang dapat dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan. Belanda hanya memanfaatkan struktur feodalisme dan budaya paternalistik Indonesia untuk menindas hak-hak politik rakyat dan memaksimalkan kepentingan politik dan ekonomi kolonial. Hanya satu sumbangan cukup penting oleh Belanda pada tahap-tahap akhir penjajahannya, yang dapat disebut sebagai bekal Indonesia setelah merdeka, yang dikenal sebagai “Politik Etis” (Ethische politiek). Salah satu kebijakan terpentingnya adalah memberikan sejumlah keleluasaan dalam bidang pendidikan sumber daya manusia Indonesia, sehingga kemudian melahirkan intelektual dan para pendiri bangsa, seperti dwitunggal proklamator kemerdekaan Sukarno-Hatta, Agus Salim, dan para founding fathers lainnya, seperti Sjahrir, Natsir, Kasimo, dan Mohamad Roem. Mereka ini banyak mengadopsi pandangan-pandangan ideologi politik Eropa kontinental dan Amerika. Di lain pihak, Jepang meninggalkan jejak-jejak militerisme dan fasisme yang tertanam cukup dalam di tubuh angkatan bersenjata Indonesia, melalui PETA, sebagai cikal bakal lembaga ketentaraan Indonesia. Warisan Belanda dan Jepang ini berpengaruh sangat dalam terhadap politik di Indonesia, hubungan sipil-militer, konsep dwifungsi ABRI, serta konflik-konflik politik antar partai.
Pemerintah di tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia merupakan kombinasi sistem demokrasi liberal, berganti-ganti antara sistem demokrasi parlementer ala Eropa Barat dan demokrasi presidensial ala AS. Bersamaan dengan memikul beban berat revolusi selama empat tahun (1945-1949), berupa upaya diplomasi dan perang kemerdekaan melawan Belanda dan sekutu, serta besarnya tantangan “nation building” terhadap bangsa yang masih muda, demokrasi Indonesia yang baru dibangun para bapak bangsa tidak mampu bergerak maju secara cepat dalam membangun lembaga-lembaga yang diperlukan bagi proses demokratisasi jangka panjang. Konstitusi UUD 1945 ternyata tidak cukup kuat menjadi basis demokrasi karena bersifat sangat umum dan timpang dalam pembagian kekuasaan kelembagaan, sementara pemilu tidak dapat dilakukan sesegera mungkin, karena negara menghadapi berbagai situasi darurat yang mengancam eksistensi kedaulatan negara. Kabinet-kabinet yang dibentuk antara periode perang kemerdekaan (1945-1949) hanya dapat bertahan dalam hitungan bulan saja, sehingga tidak mampu melakukan konsolidasi demokrasi yang berarti. Negara Indonesia yang baru melakukan serah terima kedaulatan dengan Belanda pada 27 Desember 1949 sempat menjadi negara federal di bawah UUD RIS.
Dengan serah terima kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1947 Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka setelah sebelumnya terus mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutamanya Amerika Serikat. Soekarno menjadi presiden pertama Indonesia dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden. Pada 1950 Indonesia mengadopsi UUD Sementara (UUDS) 1950 untuk menggantikan UUD RIS. Periode 1950 hingga 1959 ini Indonesia memasuki apa yang kemudian dikenal dengan era “demokrasi liberal,”yang  diselingi dengan Pemilu 1955.

BAB II
Pengaruh Sistem Politik Liberal di Indonesia

1.      Latar Belakang Perubahan Sistem Pemerintahan
Pernyataan Belanda yang diwakili oleh van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.[3]
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan.
Antara tahun 1945 hingga tahun 1949, persatuan laut Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan Indonesia melarang segala pelayaran Belanda pada sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai sembarang dukungan logistik maupun bekalan yang diperlukan untuk memulihkan kekuasaan penjajahannya di Indonesia.
Tidak lama setelah itu, Indonesia meluluskan undang-undang baru yang menciptakan sebuah sistem demokrasi berparlemen yang dewan eksekutifnya dipilih oleh parlemen atau MPR dan bertanggungjawab kepadanya. MPR. Parlemen pada mulanya terdiri daripada partai-partai politik sebelum dan selepas pilihan raya umum yang pertama pada tahun 1955 sehingga kerajaan campuran yang stabil tercapai.
Peranan Islam di Indonesia menjadi perkara yang rumit, dengan Sukarno cenderung memilih sebuah sistem pemerintahan sekular yang berdasarkan Pancasila. Sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang sebagiannya terdiri daripada syariat Islam.[4]
Pada masa itu (1945-1959), berlaku 3 macam Undang-Undang Dasar dalam kurun waktu 10 tahun, yaitu :
1)            UUD 1945
2)            UUD RIS, yang terbentuk dari hasil perjanjian Linggarjati tanggal 15 November 1946
3)            UUD Sementara tahun 1950, terbentuk atas dasar serah terima kedaulatan dengan Belanda pada 27 Desember 1949  yang merupakan realisasi hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Pada perkembangan berikutnya, pengaruh yang diakibatkan oleh perubahan kekuasaan dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia serta dibarengi oleh fenomena-fenomena politik, juga turut mempengaruhi sistem demokrasi di Indonesia yang juga mengalami  fase perubahan.
2.      Sistem Pemerintahan Parlementer
Walaupun begitu banyak fenomena-fenomena politik yang terjadi di Indonesia, namun kehidupan sistem demokrasi dapat terus berjalan dan hukum dapat ditegakkan. Pada masa itu sistem politik di Indonesia menganut sistem demokrasi liberal. Sistem pemerintahannya berbentuk parlementer. Dalam sistem pemerintahannya kepala negara dijabat oleh presiden, sedangkan kepala pemerintahan dijabat oleh perdana menteri, serta Badan Konstituante yang betugas membuat Undang-Undang.
Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.
Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang merasa kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan. Berbeda dengan sistem presidensiil yang yang mengunakan mekanisme check and balance dalam menjalankan sistem pemerintahannya, sebab di dalamnya menggunakan sistem separation of power, yang mana kekuasaan legislatif dan eksekutif dipisahkan. Namaun dalam kenyataannya, pada masa itu Presiden tetap turut ikut campur dalam urusan legislatif, sehingga apa yang diharapkan dalam sistem presidensiil itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sistem parlemen dipuji, dibanding dengan sistem presidensiil, karena kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik. Kekurangannya adalah dia sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis. Sistem parlemen biasanya memiliki pembedaan yang jelas antara kepala pemerintahan dan kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan kepala negara ditunjuk sebagai dengan kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini.[5]
Sebelum penyerahan kedaulatan dari Belanda pada akhir tahun 1949 pemerintah dan rakyat terfokus menghadapi agresi Belanda yang datang kembali ke Indonesia setelah Jepang terusir dari bumi nusantara karena kalah Perang Dunia II. Kedatangan Belanda bersama sekutu ini berdalih melucuti senjata Jepang, namun kesempatan itu ternyata digunakan Belanda untuk kembali menguasai kota-kota di Indonesia. Terjadilah perjuangan hidup mati mempertahankan kemerdekaan yang dengan susah payah diproklamasikan rakyat Indonesia.
Setelah penyerahan kedaulatan (tanpa provinsi Irian Barat) kepada pemerintah Indonesia pada Konferensi Meja Bundar, dimulailah pembenahan Republik ini dengan melengkapi perangkat pemerintahan dan bersiap mengadakan pemilu. Dengan UU no 7 tahun 1953 tentang Pemilu, maka tahun 1955 terlaksanalah Pemilu pertama Republik Indaonesia.berdasarkan UUD Sementara (1950). Menurut para ahli, Pemilu 1955 adalah Pemilu terbersih, terjujur, teradil dan teraman di bandingkan dengan pemilu-pemilu pada masa setelah itu. Periode berikutnya di era Demokrasi Terpimpin 1959-1966 ternyata tidak sekalipun dilaksanakan Pemilu. Sedangkan di masa Orde Baru secara periodik Pemilu dilakukan berkali-kali namun Pemilu yang bebas, rahasia, jujur dan adil itu hanya sebatas semboyan. Kenyataannya terjadi berbagai macam kecurangan, manipulasi, bujukan dan pemaksaan. Meski semua kebrobrokan itu dilaporkan oleh parpol peserta pemilu namun tidak pernah sampai ke pengusutan, penyidikan, apalagi ke pengadilan.[6]

Menurut M. Rais Ahmad, dalam bukunya “Peran Manusia Dalam Penegakan Hukum Dari Perspektif Akhlak Islam” (Pendahuluan. hlm 3), sistem demokrasi dan hukum bisa tegak pada masa awal kemerdekaan disebabkan oleh beberapa kemungkinan yang mempengaruhi antara lain;
-      Semangat menentang penjajahan terakumulasi dalam kebersamaan perjuangan hidup mati.
-      Para pemimpin yang mengawal perjuangan rakyat punya kedekatan fisik maupun ruhani dengan rakyat, sehingga berakibat keutuhan persatuan masih terjaga belum terkotori oleh kepentingan kelompok, golongan maupun pribadi.

.

BAB III
Jatuhnya Era Demokrasi Liberal

1.      Latar Belakang
Dalam versi buku-buku sejarah secara umum, tahun 1950-an di Indonesia ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer yang berlaku pada waktu itu. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Kekuasaan partai-partai politik terhadap pemerintahan juga sangat besar. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI-kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai ini adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, menurut buku-buku sejarah umumnya menekankan pula bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.[7]

Bahwa kabinet sering jatuh bangun pada waktu itu adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Bahwa beberapa gerakan separatis muncul sepanjang tahun 1950-an juga adalah kenyataan, bahkan Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah. Lebih jauh lagi, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.
Di era 1950-an, memang pertentangan ideologi politik di antara partai-partai sangat dirasakan. Masing-masing telah berupaya memasarkan bahwa ideologinyalah yang terbaik untuk sebuah Indonesia merdeka. Sebagai kelanjutan dari masa pergerakan nasional, secara kasar peta ideologi itu mengerucut menjadi tiga: Islamisme, nasionalisme, dan Marxisme/sosialisme. Ketiganya juga menemukan perumahannya pada berbagai partai yang cenderung untuk berpecah belah akibat pertentangan para elitnya, sekalipun ideologinya serupa.[8]
Perubahan besar terjadi beberapa tahun setelah terbentuknya Konstituante hasil Pemilu 1955. pertentangan ideologi menjadi sengit dalam perdebatan Majelis Konstituante, khususnya antara Islam vs Pancasila. Islam didukung oleh partai-partai Islam, Pancasila oleh partai-partai nasionalis, sosialis/Marxis. Cita-cita Bung Karno untuk menyatukan ketiga ideologi itu mengalami kegagalan total, karena memang merupakan sesuatu yang mustahil, khususnya antara Islam dan Marxisme

Ketika anggota Konstituante tekun bersidang untuk menyepakati konstitusi Republik Indonesia selanjutnya, sebagaimana pernah dinyatakan oleh  Soekarno pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan 18 Agustus 1945 bahwa nantinya akan dibentuk UUD yang cocok dan disepakati oleh rakyat Indonesia, diopinikan bahwa Konstituante tidak mampu menghasilkan kontitusi (UUD) baru dan akan mengancam keutuhan bangsa, maka Presiden membentuk Dewan Nasional guna merumuskan langkah-langkah Pemerintah selanjutnya. Sementara itu pimpinan Angkatan Perang RI (APRI) berkehendak kembali ke UUD 1945 dan keinginan itu sesuai pula dengan keinginan presiden., maka persidangan-persidangan Konstituante antara kubu Islamis dan Nasionalis meskipun sudah mendekati kesepakatan namun ada kekuatan baru yang diusung oleh fraksi PKI yang selalu mengacaukan sidang-sidang resmi konstituante sehingga dicitrakan bahwa sidang akan buntu.[9]
2.      Dekrit Presiden
Hal-hal di atas merupakan gambaran umum yang mendasari terjadinya Dekrit Presiden. Karena tajamnya pertentangan ideologi dalam Majelis Konstituante untuk merumuskan dasar negara antara Islam dan Pancasila yang tak kunjung menemukan kata sepakat, TNI mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar UUD 1945 didekritkan dengan semboyan "Kembali ke UUD' 45". Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting, mengorbankan Majelis Konstituante serta memulai periode yang dalam sejarah politik kita disebut sebagai "Demokrasi Terpimpin". Dekrit ini dikenal dengan Dekrit 5 Juli 1959, yang kemudian oleh Presiden Soekarno dijadikan landasan konstitusional untuk menciptakan sistem Demokrasi Terpimpin, 1959-1966. Sejak 5 Juli 1959, UUD 1950 resmi digantikan oleh UUD 1945.
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
Setelah Presiden Soekarno mengaluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, konon Indonesia mau kembali ke UUD 1945 yang berarti demokrasi parlementer ditinggalkan. Ironisnya, setelah kembali ke UUD 1945, sistem politik Indonesia bergerak ke kutub ekstrim lain, yakni Demokrasi Terpimpin. Peranan Presiden Soekarno kian dominan dalam semua hal. Pemilu tak lagi pernah diadakan. Semua keputusan ekonomi dan politik merupuakan cermin kemauan politik Bung Karno. Tak ada yang berani mengkritisi karena akan dijebloskan ke penjara. [10]
Dengan demikian, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandakan bahwa sistem demokrasi Indonesia secara resmi berubah dari Sistem Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin, yang juga berdampak pada sistem pemerintahan yang dijalankan di dalam negara.

Kesimpulan

Pada masa awal kemerdekaan sistem politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh paham demokrasi liberal. Paham ini bisa berkembang di Indonesia, sebab para pendiri bangsa (founding father) kebanyakan mengadopsi dan mengambil literatur paham, ideologi, maupun sistem pemerintahan dari negara-negara barat. Walaupun ada juga beberapa tokoh-tokoh negara yang mempelajari paham sosialis dan komunisme dari negara-negara sayap kiri yang mana bertentangan dengan paham negara-negara barat, namun paham demokrasi lebih dominan tercitra dalam pembentukan sistem politik di Indonesia.

Sistem politik liberal digunakan di Indonesia selama masa pemerintahan Soekarno dengan sistem pemerintahan berparlementer. Pada masa demokrasi liberal, peran dan pergerakan infrastruktur seperti partai politik sangat dominan dalam mempengaruhi kebijakan publik atau output serta menguasai parlementer.

Berdasarkan uraian-uraian di atas yang bersumber dari berbagai referensi dan literatur, dapat disimpulkan bahwa pada masa awal kemerdekaan, Indonesia sempat menggunakan 3 Undang-Undang Dasar sekaligus dalam kurun waktu 14 tahun (1945-1959). Sejak diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 sampai tanggal 14 November 1945, yakni sehari sebelum kedatangan Sekutu, sistem politik Indonesia menganut sistem demokrasi presidensiil. Namun, sistem presidensiil itu tidak bertahan lama. Sebab Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir. Adapun faktor-faktor lain yang mendorong dan menyebabkan terjadinya perubahan sistem pemerintahan adalah sebagai berikut :
-   Tidak berjalannya mekansime Check and Balance (pengawasan dan Keseimbangan) dalam menjalankan sistem presidensiil
-   Kekhawatiran Indonesia akan agresi militer Belanda ke Indonesia
-   Serta sistem pemerintahan Indonesia yang belum stabil

Disebabkan oleh beberapa faktor di atas, sistem pemerintahan Indonesia kemudian berganti haluan dengan menganut sistem Demokrasi parlementer. Dalam sistem demokrasi berparlementer Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang sebelumnya sempat juga menggunakan UUD RIS dimana Indonesia berada di bawah sistem pemerintahan federal. Pengaruh partai-partai politik yang terlalu kuat dalam sistem demokrasi berparlementer mengakibatkan pemerintahan Parlementer di bubarkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang kemudian merubah sistem demokrasi Indonesia menjadi sistem Demokrasi Terpimpin.



[1] Disadur dari tulisan M. Rais Ahmad. Peran Manusia Dalam  Penegakan Hukum Dari Perspektif Akhlak Islami.http ://google.com

[2] Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.si. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Refika. Bandung. 2001.hal. 129
[3] Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia:_Era_1945-1949
[4] Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia:_Era_Demokrasi_Berparlimen
[6] M. Rais Ahmad. Peran Manusia Dalam Penegakan Hukum Dari Perspektif Akhlak Islami.Pendahuluan. hlm  2. http://google.com
[7] Dr Vedi R Hadiz (Staf pengajar pada Departemen Sosiologi Universitas Nasional Singapura). Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru. http://www.kompas.co.id

[8] Ahmad Syafii Maarif. Dulu yang Disalahkan Konflik Ideologi, Sekarang?. http://www.Republika.co.id
[9] M. Rais Ahmad. Peran Manusia Dalam Penegakan Hukum Dari Perspektif Akhlak Islami.Pendahuluan. hlm  3. http://google.com
[10] Jhon Tafbu Ritonga. Menyongsong 60 Tahun Indonesia Merdeka.hlm. 3. Waspada.co.id


0 komentar to "SPI - Sistim Demokrasi Liberal Awal kemerdekaan"

Posting Komentar

Pages

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers

Web hosting for webmasters