Kelebihan dan Kekurangan Otonomi Daerah


Kata Pengantar

Assalamualaikum war, wab.

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat berkat dan bimbinganNya lah maka tugas ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Tujuan dari penulisan tugas ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah “Sistem Pemerintahan Daerah” yang ditugaskan oleh dosen mata kuliah tersebut. Adapun tugas yang diberikan yakni mengenai Kelebihan dan Kekurangan dari Otonomi Indonesia di Indonesia
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang turut membantu dalam penyelesaian tugas ini sehingga tepat pada waktunya.
Penulisan tugas ini dikerjakan berdasarkan atas literatur dari berbagai sumber. Dan untuk memudahkan, penulis sengaja membubuhkan catatan kaki pada setiap tulisan yang merupakan kutipan dari literatur tersebut.
Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan yang disebabkan oleh keterbatasan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Amin.
 Wassalamualaikum war, wab.



Penulis





BAB I
Pendahuluan


A. Latar Belakang
Pengertian atau Definisi Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat  sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[1] Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia[2].
Politik desentralisasi di Indonesia masa kolonial sesungguhnya sudah dilaksanakan sejak masa Hindia Belanda. Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan otonomi daerah sudah lahir pada tahun 1903. Tujuannya untuk mencapai efesiensi birokrasi, mengurangi beban administrasi, dan menyertakan elemen rakyat dalam pemerintahan lokal. Dalam kenyataannya, praktek desentralisasi menurut UU tahun 1903 hanya bersifat administrative decentralization, karena pelaksanaannya di lapangan tetap dilakukan oleh pejabat yang merupakan perpanjangan pusat. UU tahun 1903 kemudian digantikan oleh UU tahun 1922 mengenai desentralisasi yang berlangsung sampai masa pendudukan Jepang tahun 1942.
Pada masa Indonesia post-kolonial, UU yang berkaitan dengan desentralisasi antara lain UU Nomor 1 tahun 1945, UU Nomor 22 tahun 1948, UU Nomor 1 tahun 1957, UU Nomor 5 tahun 1960, UU Nomor 19 tahun 1965, Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 dan UU Nomor 5 tahun 1974. Hampir seluruh UU yang ada dalam sejarah pemerintahan Indonesia modern tidak ada yang berjalan sebagaimana mestinya. Pelimpahan wewenang dan kekuasaan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah mengalami kemandekan. Beberapa UU justru terkesan “melegalkan” semangat sentralistik. Dua “gaya” pemerintahan yang diterapkan sebelum reformasi-Orde Lama dan Orde Baru- ada kemiripan hanya berbeda bentuk dan pelaksanaannya saja. Namun semangatnya tetap sama: sentralistik dan otoritarian. Bedanya, Orde Lama lebih mengedepankan semangat revolusioner, sedangkan Orde Baru lebih mengedepankan slogan-slogan pembangunanisme.
Rezim Orde Baru sedikit terbukti menguasai sistem pemerintahan selama lebih dari tiga kadawarsa, paradigma otoriter dan sentralistik dijadikan instrumen kekuasaan yang efektif. Paradigma ini diimplementasikan dalam dua bentuk. Pertama, sentralisasi kekuasaan merupakan prakondisi bagi stabilitas politik yang menjadi condition qua non bagi suksesnya pembangunan nasional. Kedua, sentralisasi dalam retribusi dan pengelolaan kekayaan nasional yang “diyakini” akan menjamin terciptanya pemerataan dan keadilan antar dearah.
Implemetasi paradigma sentralistik itu di bidang politik dan pemerintahan telah melahirkan permasalahan yang sangat akut. Sebelum otonomi daerah diberikan secara penuh pada era reformasi, birokrasi pada tiap level pemerintahan daerah kental dengan istilah-istilah “penguasa tunggal”. Istilah ini, paling tidak, mengandung dua makna. Pertama, nuansa otoritarianisme memang diberi ruang untuk kepala daerah. Indikasi ini bisa dilihat pada ketidakberdayaan institusi kontrol, baik yang berasal dari DPRD, maupun kelompok-kelompok “oposisi” di luar institusi formal. Kedua, kepala daerah, baik tingkat I maupun tingkat II, lebih berperan sebagai wakil Pemerintah Pusat daripada Pemerintah Daerah itu sendiri. Artinya, penyerapan aspirasi masyarakat kurang dianggap urgen. Petunjuk dari pusat, seperti istilah petunjuk teknis, petunjuk pelaksana, lebih diutamakan dan melekat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dari sejumlah UU yang berkaitan dengan otonomi daerah selama Orde Baru, UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah merupakan pilot project desentralisasi. Ia dimaksudkan untuk menitikberatkan otonomi pada daerah tingkat kabupaten/kota madya. Namun demikian, pelaksanaannya tersendat-sendat, lamban, bahkan dalam beberapa hal mengalami dampak kemunduran. Dalam pelaksanaannya, daerah otonom sekaligus dijadikan daerah administrasi. Konsekuensi pembauran terhadap sistem ini adalah pimpinan Pemerintahan Daerah sekaligus menjadi Kepala Wilayah. Kedudukan Kepala Wilayah merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Peran kepala daerah sebagai alat kontrol pusat menjadi lebih dominan dibanding kedudukannya sebagai Kepala Daerah.
Kebijakan tersebut disadari oleh pemerintah kurang mendatangkan hasil maksimal apabila diukur berdasarkan tujuan-tujuan otonomi pemerintahan, kesejahteraan dan pemerataan. Oleh karena itu, pada tahun 1995 Pemerintah Pusat mencoba mendesain otonomi daerah percontohan di 26 kabupaten seluruh Indonesia. Malangnya, implementasi kebijakan ini di lapangan lagi-lagi tidak seperti diharapkan. Sebagian besar instansi vertikal tidak mau menyerahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah. Artinya, kesungguhan untuk menjalankan otonomi memang belum muncul, semangat sentralistik tetap kuat melekat di sanubari pemerintah pusat.
Sementara itu, paradigma yang dikedepankan Orde Baru adalah pembangunan ekonomi dalam wujud growth (pertumbuhan). Secara statistikal, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa itu memang cukup mengesankan, sekitar 7 persen. Akan tetapi, pertumbuhan itu tidak disertai dengan pemerataan dan pembentukan fondasi ekonomi yang kuat. Akibat kurangnya pemerataan, ketidakpuasan terhadap pusat semakin membesar. Sementara tanpa fondasi ekonomi yang kuat, stabilitas makro ekonomi mudah runtuh. Krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997 menjadi indikasi bagi kegagalan paradigma ekonomi sentralistik tersebut. Implikasinya pada berbagai aspek kehidupan, sosial, ekonomi, politik dan pemerintahan begitu massif.
Krisis dan keterpurukan bangsa dan negara Indonesia jelas derita rakyat. Namun dibalik itu, ada hikmah positif, blessing in disguised. Ide-ide segar dan pemikiran mendasar menginginkan “reformasi total” dalam seluruh aspek kehidupan bernegara dan berbangsa. Menurut Koswara (2002), fokus utama reformasi total ini adalah mewujudkan masyarakat madani (civil society) dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan pemerintahan. Good governance menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan transparasi, kejujuran, keadilan, orientasi kerakyatan dan akuntabilitas publik. Ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, reformasi total ini memberi dampak pada pergeseran paradigma sistem pemerintahan dari sentralisme ke arah sistem yang desentralistik.
Sifat pemerintahan semacam ini memberikan keleluasan kepada daerah dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat lebih ditekankan. Tujuannya adalah pemerataan dan keadilan menurut kondisi, potensi dan keanekaragaman masing-masing daerah.
Dua hal pokok yang merupakan puncak dari pelaksanaan otonomi daerah adalah retribusi kewenangan di bidang pemerintahan dan fiskal. Kedua persoalan itu dituangkan dalam UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut UU Nomor 22 tahun 1999, otonomi daerah dititik beratkan pada daerah kabupaten dan kota sebagai daerah otonom dan tidak dirangkap dengan wilayah administrasi. Kepala Daerah semata-mata menjadi “alat daerah” dan tidak lagi merangkap sebagai “alat pusat”. Penetapan dan pemilihan kepala daerah diserahkan sepenuhnya kepada daerah di mana DPRD memilih tanpa campur tangan Pusat. Posisi Pemerintah Pusat hanya mengesahkannya sesuai pilihan DPRD.
Konsekuensinya, kepala daerah tidak lagi bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat, tetapi kepada DPRD. Makna lain yang terkandung di sini adalah adanya pemisahan secara tegas fungsi antara eksekutif dan legislatif. DPRD diberdayakan sedemikian rupa sehingga benar-benar dapat berperan sebagai penyalur aspirasi rakyat. DPRD dan Kepala Daerah menjadi mitra sejajar. Kesejajaran dan menjadi mitra dimaksudkan untuk terciptanya hubungan kerja yang harmonis antara eksekutif dan legislatif.
Berdasarkan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, efektifitas kontrol legislatif terhadap eksekutif begitu ketat sehingga peluang penyelewengan kekuasaan eksekutif makin sempit. Hal ini dapat dilihat dalam UU tersebut pada pasal 18 tentang tugas dan wewenang DPRD, pasal 19 tentang hak DPRD, pasal 20, 21, 22 dan 23. Adapun yang berkaitan dengan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kewenangan pemerintah daerah makin diperluas, khususnya dalam penerimaan (revenue) dan pengeluaran (expenditure).
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, sistem kebijakan fiskal menyangkut transfer Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, yaitu berbentuk Sumbangan Daerah Otonom (SDO) dan INPRES. Kelompok pertama merupakan transfer yang realitasnya digunakan untuk membayar seluruh belanja pegawai daerah, sedangkan kelompok kedua merupakan transfer yang menjadi kewenangan Presiden ke Dati I, Dati II dan Desa. Namun demikian, jika kedua bentuk transfer tersebut dirinci terbukti bahwa pada hakekatnya, SDO merupakan dana block grant, sedangkan INPRES bagian dari mana specific grant. Sementara itu, berkaitan UU Nomor 25 tahun 1999, penerimaan daerah terdiri dari:
a.       Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang umumnya bersumber dari pajak daerah, retribusi dan laba BUMD.
b.       Dana Perimbangan yang terdiri atas Dana BPHTB, Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana Alokasi Khusus (DAK).
c.       Pinjaman Daerah.
Meski UU No 22 dan 25 Tahun 1999 dinilai solusi maksimum dalam mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun disadari bahwa kedua undang-undang tersebut lahir dalam situasi turbulensi (siatuasi darurat) bidang politik, ekonomi, dan budaya. Meresponi hal tersebut, maka satu tahun setelah UU tersebut lahir, keluarlah Katetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Dan selanjutnya, sebagai sebuah upaya memperbaiki kekurangan UU No 22 Tahun 1999 tersebut pemerintah menerbitkan UU No 32/2004 dan UU No 33/2004, yang diundangkan pada 15 Oktober 2004.

B. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana Implementasi UU tentang otonomi daerah di Inmdonesia
  2. Kelebihan dan kekurangan otonomi daerah di Indonesia.


BAB II
Pembahasan


A. Perubahan Bentuk Kebijakan Mengenai Pemerintahan dan Otonomi Daerah
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya, ide otonomi daerah itu mengalami berbagai yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :

  1. Undang-Undang No. 1 tahun 1945
Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.

  1. Undang-Undang No. 22 tahun 1948
Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.

  1. Undang-Undang No. 1 tahun 1957
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.

  1. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.

  1. Undang-Undang No. 18 tahun 1965
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja

  1. Undang-Undang No. 5 tahun 1974
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional. Adapun pokok pertimbangan sehingga dikeluarkannya UU NO. 5 Tahun 1974 antara lain :
a.        bahwa Undang-undang nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2778), tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;
b.        bahwa Undang-Undang Dasar 1945 adalah sumber hukum bagi seluruh perangkat Negara;
c.        bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia , maka kedudukan Pemerintah Daerah sejauh mungkin diseragamkan;
d.        bahwa untuk menjamin terselenggaranya tertib pemerintah, Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dibagi atas daerah besar dan daerah kecil, baik yang bersifat otonom maupun yang bersifat administratif;
e.        bahwa dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok Negara dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan Bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi;
f.          bahwa penyelenggaraan pemerintah di daerah, selain didasarkan pada asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi juga dapat iselenggarakan berdasarkan asas tugas pembantuan;
g.        bahwa untuk mengatur yang dimaksud di atas, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

B. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No.32 Tahun 2004
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.



Implementasi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 antara lain :
è Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
  1. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
  2. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
  3. Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
  4. Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
  5. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
  6. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
  7. Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
  8. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi:
·          Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
·          Pengaturan kepentingan administratif;
·          Pengaturan tata ruang;
·          Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan
·          Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
  1. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10.    Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
11.        Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
12.        Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

è Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi meliputi:
  1. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
·          Hasil pajak daerah
·          Hasil restribusi daerah
·          Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
·          Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro
2.        DANA PERIMBANGAN
·          Dana Bagi Hasil
·          Dana Alokasi Umum (DAU)
·          Dana Alokasi Khusus
·          Pinjaman Daerah
·          Pinjaman Dalam Negeri
1)       Pemerintah pusat
2)       Lembaga keuangan bank
3)       Lembaga keuangan bukan bank
4)       Masyarakat (penerbitan obligasi daerah)
·          Pinjaman Luar Negeri
1)       Pinjaman bilateral
2)       Pinjaman multilateral
3)       Lain-lain pendapatan daerah yang sah;
ð  Hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah Kabupaten/Kota lainnya.
ð  Penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang No.32 Tahun 2004[3].
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, disamping karena adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga memperhatikan beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR, seperti;
1.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;  
2.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2002
3.   Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor 5/MPR/2003 tentang Penugasan Kepada MPR-RI Untuk Menyampaikan Saran Atas Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK, dan MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003.

Perubahan undang – undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi UU No.32 Tahun 2004 berkaitan dengan undang-undang :
1.   Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
2.   Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
3.   Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.  
4.   Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
5.   UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
6.   Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, disamping karena adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga memperhatikan beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR, seperti;
1.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;  
2.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2002
3.   Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor 5/MPR/2003 tentang Penugasan Kepada MPR-RI Untuk Menyampaikan Saran Atas Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK, dan MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003.

Perubahan undang – undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi UU No.32 Tahun 2004 berkaitan dengan undang-undang :
1.   Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
2.   Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
3.   Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.  
4.   Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
5.   UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
6.   Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.

Otonomi Daerah menjadi gagasan memikat setelah pemerintahan Orde Baru mengalami kebangkrutan. Ia diyakini sebagai formula mengakhiri permasalahan dan ketidak-harmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia post-kolonial. Memang, pada era reformasi, sistem sentralistik yang selama tiga dasawarsa tahun menjadi andalan pemerintahan Soeharto telah kehilangan sakralitas antara lain karena dinilai turut berkontribusi atas disparitas pembangunan yang berujung pada krisis kebangsaan multidimensional. Maka tidak mengherankan apabila sesaat setelah pemerintahan Soeharto berakhir, antitesa sistem sentralistik, yakni pemerintahan desentralisasi mendapat dukungan luas dari publik Indonesia.
Maka segera setelah mendapatkan mandat untuk menggantikan Soeharto, Presiden B.J. Habibie menerbitkan UU No 22 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, guna meresponi tuntutan penerapan desentralisasi pemerintahan. Bagi publik Indonesia, penerbitan kedua UU tersebut merupakan penanda bagi impementasi reformasi radikal sistem pemerintahan di Indonesia terutama dalam mengelola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua undang-undang tersebut merupakan landasan hukum penerapan sistem otonomi daerah di Indonesia.

C. Tabel Perbandingan Isi UU No 22/1999 dengan UU No 32/2004
Terdapat beberapa perbedaan UU 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004, meski kedua UU tersebut sama-sama lahir pada era reformasi dan didasari sebagai antitesa sistem sentralistik pemerintah Orde Baru. Sadu Wasistiono (2005:188-190) mencatat beberapa perbedaan antara kedua UU tersebut. Tabel berikut ini mengemukakan sebagian perbedaan-perbedaan antara kedua UU tersebut sebagaimana dikemukakan Sadu Wasistionos.

No
Aspek Perbandingan
UU No 22/1999
UU No 32/2004
1
Dasar Filosofi.
Keanekaragaman dalam kesatuan
Keanekaragaman dalam kesatuan
2
Pembagian Satuan Pemerintahan
Pendekatan dan besaran isi otonomi, ada daerah besar dan ada daerah kecil yang masing-masing mandiri, ada daerah dengan isi otonomi terbatas dan ada daerah dengan otonomi luas.

Pendekatan besaran dan isi otonomi dengan menekankan pada pembagian urusan yang berkeseimbangan asas eksternalitas, akuntabilitas dan efesiensi.

3
Penggunaan Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Desentralisasi terbatas pada Daerah Propinsi dan luas pada daerah K/K. Dekosentrasi terbatas pada K/K dan luas pada Propinsi. Tugas pembantuan yang berimbang pada semua tingkatan pemerintahan.

Desentralisasi diatur berkeseimbangan antara Daerah Propinsi, dan K/K. Dekosentrasi terbatas pada K/K dan luas pada Propinsi. Tugas pembantuan yang berimbang pada semua tingkatan pemerintahan.

4
Pola Otonomi
Local Democratic Model

Local Democratic Model dengan Struktural Effeciency Model

5
Sistem Pertanggung-jawaban pemerintahan
Separated System

Mixed System dengan memadukan antara Integrated System dengan Separated system
6
Unsur pemda yang memegang peranan dominan
Badan Legislatif Daerah (legislative Heavy)

Menggunakan prinsip check and balances antara pemda dan DPRD (Sadu Wasistiono, 2005:188-190)


Memang melihat garis besar UU No 32/2004 tersebut, dapat diperoleh gambaran perubahan tekanan di dalam pengaturan tentang di dalam pengaturan tentang pemerintahan daerah, dari dominasi eksekutif (menurut UU No 5/1974) menjadi dominasi legislatif (menurut UU No 22/1999), dan kembali lagi pada dominasi eksekutif (menurut UU No 32/2004). Perbedaan lain, di dalam UU No 22/1999 pengaturan tentang DPRD ditempatkan di bagian depan sebelum pengaturan tentang Kepala Daerah dan Perangkat Daerah; sementara dalam UU No 32/2004, pengaturan tentang DPRD ditempatkan sesudah pengaturan tentang Kepala Daerah. Komposisi seperti UU No 32/2004 ini sama dengan komposisi UU No 5/1974. Menurut Wasistiono, memang terjadi penurunan peran DPRD dalam kancah penyelenggaraan pemerintahan daerah pada penerbitan UU No 32/2004 tersebut (Wasistiono, 2005:190).


Daftar Pustaka

http//google.com/Undang-Undang Republik Indionesia Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

http//google.com/Parlemen.net.

http//google.com/bkksi.or.id

http://id.wikipedia.org/wiki/ Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

http//google.com/Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang




[1] Pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
[2] Pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
[3] http//jari.or.id/Undang-Undang No. 32 Tahun 2004/Tentang : Pemerintah Daerah


1 komentar to "Kelebihan dan Kekurangan Otonomi Daerah"

Posting Komentar

Pages

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers

Web hosting for webmasters