Akuntansi Kinerja Pemerintahan - BLT dan Implementasi kebijakan pemerintah


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum war, wab.
Puji syukur penyusun panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat, berkat dan bimbinganNya lah maka tugas makalah  ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas dalam Mata Kuliah akuntabilitas kinerja pemerintahan yang ditugaskan oleh Pengasuh Mata Kuliah tersebut. Adapun tema tugas yang diangkat dalam makalah ini adalah BLT dan Implementasinya terhadap kebijakan pemerintah dalam pengelolaan negara”.
Penyusun juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang turut membantu dalam penyelesaian tugas Makalah ini sehingga tepat pada waktunya.
Kami sangat menyadari bahwa Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan yang disebabkan oleh keterbatasan dan kemampuan kami. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini.
Demikian pengantar dari penyusun, semoga apa yang penyusun sajikan dapat berguna bagi pembaca  untuk menambah wawasan Dan apabila didalam makalah ini terdapat kekeliruan mohon dimaafkan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata.
 Wassalamualaikum war, wab.




Palu, November 2008
Hormat kami


Sultan






BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) merupakan jaring pengaman sosial (JPS) dari kenaikkan BBM yang membutuhkan dana yang tidak sedikit sekitar Rp14 triliun. Dana itu, merupakan penghitungan total BLT Juni-Desember 2008. Dana itu diperuntukan bagi 19,1 juta penduduk penerima BLT senilai Rp100 ribu per bulan. .Maka total dana yang dikucurkan Rp2 triliun per bulan.
Diharapkan pengucuran BLT ini dapat diterima oleh orang yang benar-benar tepat. "Pemerintah akan fokus menjaga daya beli masyarakat," Kendati demikian kebijakan ini tidak 100 persen mampu melindungi masyarakat miskin. "Tapi sedapat mungkin pemerintah bisa menjaga daya beli masyararakat”.
Setelah pemerintah memutuskan untuk menaikkan BBM, kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjadi kebijakan turunan dari kebijakan kenaikan BBM tersebut. Kebijakan BLT yang diluncurkan pemerintah ini, menuai banyak protes mulai dari masyarakat, pemerintah daerah, mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat baik nasional maupun daerah. Kebijakan yang sama juga pernah dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2005, ketika pemerintah menaikkan BBM sebesar 126 persen.
Disatu sisi, kebijakan BLT ini mungkin akan memberikan dampak positif bagi masyarakat miskin. Dengan BLT, kenaikan biaya hidup yang diakibatkan oleh kenaikan BBM secara langsung maupun dampak kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM, akan sedikit tertutupi dengan adanya dana “cuma-cuma” yang diberikan oleh pemerintah. Akan tetapi disisi yang lain kebijakan BLT ini memiliki dampak negatif yakni kebijakan ini akan berdampak negatif pada perilaku dan karakter masyarakat. Kebijakan ini sangat riskan menciptakan karakter masyarakat yang salalu dimanja dan menjadi bangsa “peminta-minta”. Selain itu, permasalahan efektifitas dan efisiensi kebijakan ini juga sangat diragukan, apalagi kalau kita melihat bahwa landasan kenaikan BBM adalah kondisi defisit keuangan negara yang semakin membengkak (bertolak belakang dengan kebijakan BLT).


2. Identifikasi masalah

Berdasarkan gambaran umum latar belakang diatas, maka untuk memberikan batasan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini, maka dirumuskan beberapa sub masalah, antara lain yaitu:
  1. Bagaimana dampak BLT terhadap masyarakat.
  2. Apa saja faktor penyebab munculnya kebijakan mengenai BLT.

3. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana pengaruh dan dampak BLT terhadap masyarakat.
  2. Untuk memahami sepenuhnya maksud dan tujuan dari kewenangan yang di ambil pemerintah mengenai BLT.
  3. Untuk mengetahui seberapa besar andil BLT dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

















BAB II
KERANGKA TEORI 

Sesuai  KEPMENPAN NO 81 Tahun 1993 : Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan instansi pemerintah baik di pusat, daerah, BUMN, dan BUMD dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kenutuhan masyarakat sesuai dengan peraturan penrundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan Pelayanan menurut taliziduhu ndraha dalam sebuah buku yang  berjudul kybernologi (ilmu pemerintahan baru) menyatakan bahwa : kebutuhan manusia  disebut jasa publik dan layanan sipil. Dimana Layanan adalah proses, output,  produk, hasil, dan manfaat. Proses produksi, distribusi, dan seterusnya sampai konsumen mendapat manfaat diharapkannya, disebut pelayanan. Jadi pelayanan dalam kybernologi yaitu pelayanan publik dan pelayanan sipil dalam arti bahwa proses, produk dan outcome yang bersifat istimewa yang dibutuhkan oleh masyarakat diproses dengan aspirasi manusia pula.
Kemudian menurut Thoha (1989:78) menyatakan bahwa pelayanan masyarakat merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang maupun suatu instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan pada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Dari pengertian di atas terlihat bahwa service atau pelayanan merupakan jasa yang diberikan oleh orang perorangan organisasi swasta maupun instansi pemerintah.
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat juga didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a)      Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan  milik swasta.
b)      Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi menjadi :
·          Yang bersifat primer dan,adalah semua penye¬diaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan pelayanan perizinan.
·          Yang bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.
Ada lima karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan jenis penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, yaitu:
1.     Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.
2.     Posisi tawar pengguna/klien. Semakin tinggi posisi tawar pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.
3.     Type pasar. Karakteristik ini menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada, dan hubungannya dengan pengguna/klien.
4.     Locus kontrol. Karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna ataukah penyelenggara pelayanan.
5.     Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.
Menurut Carl J. Friedrick Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Harold D. Lasswell & Abraham Kaplan : Kebijakan publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah.
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak
Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan. Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.


















BAB III
PEMBAHASAN

A. Dampak/pengaruh dari  bantuan lanngsung tunai (BLT) terhadap msyarakat
        Apabila melihat tujuan, efisiensi, efektifitas dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan yang diluncurkan pemerintah ini bukanlah kebijakan yang pro-poor melainkan kebijakan yang pro-image. Kebijakan ini ditempuh pemerintah bukan untuk menaikkan derajat kesejahteraan masyarakat miskin, akan tetapi hanya bertujuan untuk mempertahankan image pemerintah (yang baik) di mata masyarakat.
        Dilihat dari tujuan kebijakannya, kebijakan BLT bukanlah kebijakan pemerintah untuk membantu dan mengangkat masyarakat (meningkatkan derajat kesejahteraan) miskin melainkan hanya sebuah keputusan politik yang berorientasi untuk mepertahankan image pemerintahan di mata masyarakat. Kebijakan politis ini terpaksa diambil oleh pemerintah sehubungan semakin dekatnya jadwal pesta demokrasi pemilu 2009.
        Dilihat dari efisiensi, efektifitas dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan, kebijakan BLT masih jauh dari kategori efisien dan efektif dalam kerangka menyelesaikan kemiskinan atau bahkan kemiskinan baru yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM tersebut. Efisiensi dan efektifitas tersebut sudah dibuktikan dengan pencapaian hasil kebijakan BLT dimasa lalu (Kebijakan BLT tahun 2005) dan melihat pencapaian hasil kebijakan BLT 2005, pemerintah juga sudah merubah kebijakan tersebut menjadi kebijakan Program Keluarga Harapan.
        Kalau melihat pada dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan BLT tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi masyarakat miskin di Indonesia. Ini disebabkan nominal BLT yang diberikan tidak seimbang dengan kenaikan biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Coba kita bayangkan, kenaikan BBM tersebut akan mendorong kenaikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, mendorong kenaikan biaya input produksi masyarakat miskin yang kebanyakan berada pada sektor pertanian (baik petani maupun nelayan) yang berada di pedesaan. Apabila kita membandingkan total kenaikan biaya hidup (biaya pemenuhan kebutuhan dasar dan input produksi) masyarakat miskin dengan nominal dana BLT yang diberikan, kebijakan ini tidak akan berdampak siginifikan. Apalagi, pemerintah tidak bisa menjamin efesiensi dan efektifitas penggunaan dana BLT yang diberikan kepada masyarakat.
        Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT tersebut tidak mampu memberikan dampak positif pada peningkatan produktifitas masyarakat miskin, melainkan kecenderungannya memberikan dampak negatif pada penurunan produktifitas. Kebijakan BLT hanya merupakan kebijakan yang hanya meberikan “ikan” bukan “kail” kepada masyarakat miskin. Kebijakan Kenaikan BBM karena katerpaksaan atau usaha kepanikan pemerintah untuk mengamankan APBN, selain melahirkan kontroversi di berbagai kalangan termasuk dikalangan elit itu sendiri. Sebagian lagi menganggapnya sebagai kebijakan yang sangat kontraproduktif. Masyarakat  lebih memilih diam seribu bahasa, meski menderita karena kesulitan hidup yang pasti akan dialaminya. Sikap maksimal masyarakat, hanya bisa meratapi nasibnya, kenapa mereka memilih pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingannya.
1.      BLT  merupakan kebijakan iba bukan kebijakan untuk mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat miskin
Berbicara kemiskinan khususnya kemiskinan di Indonesia, ada dua landasan dan arah kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah. Landasan dan arah tersebut adalah membantu masyarakat miskin dengan landasan prihatin/iba dan membantu masyarakat miskin dengan landasan untuk menaikkan darajat dan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin.
Kebijakan dengan landasan prihatin/iba diartikan sebagai kebijakan yang bersifat hanya memberi “ikan” kepada masyarakat miskin, bersifat temporer serta hanya bersifat pada rasa kasihan atau iba terhadap masyarakat miskin. Sedangkan kebijakan yang berlandaskan pada pencapaian meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin diartikan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin dengan cara menigkatkan produktifitas masyarakat miskin atau dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin. Kebijakan tersebut juga merupakan kebijakan yang bersifat pada memberikan “kail”, bersifat long-term dan berkelanjutan.
Melihat sifat yang hanya meberikan “ikan”, bersifat temporer dan rasa kasihan/iba (kenaikan biaya hidup masyarakat miskin akibat dampak kenaikan BBM), kebijakan BLT yang diluncurkan pemerintah merupakan kebijakan yang bersifat iba dan tidak akan mampu menyelesaikan masalah kemiskinan di Indonesia.
2.  Kelemahan kebijakan BLT
Berkaca pada kebijakan BLT di masa lalu (kebijakan BLT tahun 2005) banyak kelemahan-kelemahan dan masalah-masalah yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, antara lain :
1.      Kebijakan BLT bukan kebijakan yang efektif dan efisien untuk menyelesaiakan kemiskinan di Indonesia, ini dikarenakan kebijakan ini tidak mampu meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan mayarakat miskin
2.      Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana BLT yang tidak dapat diukur dan diawasi karena lemahnya fungsi pengawasan pemerintahan terhadap kebijakan tersebut
3.      Validitas data masyarakat miskin yang diragukan sehingga akan berdampak pada ketepatan pemberian dana BLT kepada masyarakat yang berhak
4.      Kebijakan BLT memiliki kecenderungan menjadi pemicu konflik sosial di masyarakat
5.      Peran aktif masyarakat yang kurang/minim, sehingga optimalisasi kinerja program yang sulit direalisasikan
6.      Dari sisi keuangan negara, kebijakan BLT merupakan kebijakan yang bersifat menghambur-hamburkan uang negara karena kebijakan tersebut tidak mampu menyelesaiakan masalah kemiskinan secara berkelanjutan dan tidak mampu menstimulus produktifitas masyarakat miskin
B. Faktor penyebab munculnya kebijakan mengenai BLT
Fakta lapangan tidak bisa dipungkiri. Kenaikan BBM, telah mempengaruhui berbagai aspek kehidupan, bukan hanya harga bahan pokok yang semakin tak terjangkau masyarakat miskin. Usaha masyarakat yang mengandalkan BBM, banyak yang gulung tikar, tragedi PHK juga tidak bisa terelakkan. Imbasnya, jumlah masyarakat miskin mengalami peningkatan sampai 8,55 persen atau sekitar 15 juta jiwa.
Nasi sudah jadi bubur, begitu kata pepatah. Pemerintah sudah memilih jalan yang dianggapnya sebagai pilihan dengan menaikkan harga BBM. Tetapi, kenapa harus kompensasinya berupa BLT. Selain tidak menyelesaikan masalah, juga kurang mendidik. Selain itu, bisa dianggap sebagai upaya melegalisasi kemiskinan secara struktural maupun kultural. Kondisi ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Program BLT hanyalah sekedar politik bermurah hati pemerintah yang sudah melukai hati rakyat dengan kanaikan BBM. Pemerintah memilih memberi uang saku sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sesaat (transient living cos). Sementara pemerintah kita tidak mengetahui jangka panjang kebijakan ini dapat melahirkan socio-cultural deprivation, yang justru melanggengkan kemiskinan. Belum lagi implementasi BLT itu sendiri yang melahirkan berbagai penyimpangan sebagaimana pengalaman sebelumnya. Tahun 2005/2006, penyaluran dana BLT menimbulkan sengketa di kalangan masyarakat, bukan saja menyangkut akurasi data rumah tangga miskin (RTM) yang berhak menerima dana, tetapi juga mekanisme penyalurannya.
Pantas saja program BLT dinilai miring dan pesimistis oleh berbagai pihak. Oleh pengamat ekonomi UGM, Revrisond Baswir diakui sebagai bentuk suap pemerintah untuk mencegah kemarahan rakyat, apalagi pembagian dana tersebut dibayarkan sebelum kenaikan harga BBM diumumkan secara resmi. Bagi rakyat miskin sebagai “obat masuk angin” (tolak angin) sesaat, agar mampu beradaptasi dengan harga-harga barang yang melambung mengikuti kenaikan harga BBM.
Sebagai paket kebijakan, pemerintah menggelontorkan BLT kepada kelompok masyarakat miskin yang diidentifikasi akan menderita akibat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebenarnya dua kebijakan tersebut, yaitu menaikan harga BBM dan kompensasi terhadap kelompok masyarakat miskin merupakan dua kebijakan yang tidak terintegasi secara langsung. Kenaikan BBM dan program kompensasi atas kenaikan harga BBM tidak membentuk hubungan yang solutif. Dalam kata lain kebijakan kompensasi atas kenaikan harga BBM tersebut tidak lebih sebagai tindakan impulsif dari pemerintah untuk meredam efek politis yang timbul akibat pilihan tidak populer. Setidaknya terdapat beberapa logika yang mengarahkan simpulan kepada hal tersebut.
Pertama, program kompensasi dengan bentuk dan model yang sudah ada, terbukti memiliki ketidakefektivan. Sering diketemukan terjadinya ketidaktepatan sasaran (misstargeting), tidak tepat jumlah (missquantity) dan tidak tepat waktu penyaluran (missdelivery) serta beberapa persoalan penyaluran yang lainnya. Bentuk-bentuk penyaluran yang seperti ini memiliki kerentanan tidak hanya kepada diterimanya subsidi tersebut kepada kelompok sasaran sehingga mereka bisa mengatasi secara efektif tingginya kebutuhan hidup akibat kenaikan BBM. Namun juga, bentuk program yang demikian memiliki kerentanan untuk menghasilkan konflik horizontal pada tingkat masyarakat. Adanya kesenjangan kapasitas antara birokrasi penyaluran pada tingkat atas dan pada tingkat terendah menjadikan pengelolaan subsidi ini rentan untuk mengalami distrorsi. Bukan hanya kerentanan akan adanya penyelewengan yang nyata, namun ekspektasi yang tinggi dari masyarakat terhadap penyaluran program itu yang tidak sebanding dengan kapasitas penyaluran tersebut menimbulkan tuntutan yang tidak terimplementasi secara baik oleh implementor, sehingga akhirnya menimbulkan konflik horizontal yang menghasilkan kerugian sosial ekonomi.
Kedua, bentuk program cash transfer dalam model tersebut (membagikan secara langsung) terbukti tidak berkorelasi langsung dengan pemanfaatan konsumsi yang efektif bagi kelompok sasaran yang dimaksud. Fakta yang sering dijumpai adalah dana yang diperoleh oleh masyarakat tersebut digunakan secara bervariasi sesuai dengan keinginan penerimanya. Padahal maksud dari rumusan program ini agar dana tersbeut digunakan secara efektif untuk menutupi selisih biaya hidup yang semakin berjarak dengan kenaikan BBM. Artinya, program dalam format ini justru tidak mampu memberikan solusi jangka panjang yang dapat menggerakkkan kelompok masyarakat miskin agar mampu bergerak dari garis kemiskinan yang semakin menurun akibat implikasi dari kenaikan komoditas konsumsi sebagai bagian dari efek domino kenaikan BBM. Dengan demikian, program-program dalam bentuk seperti ini sebenarnya tidak berkorelasi langsung sebagai bentuk tindakan untuk menangani kemiskinan akibat kenaikan BBM sebagaimana yang dimaksud oleh pemerintah.
Ketiga, format subsidi yang diperuntukkan bagi kelompok terkategori masyarakat miskin yang teridentifikasi sebagai kelompok penderita kenaikan BBM justru akan menciptakan pergeseran kelas yang semakin melebar pada kategori masyarakat miskin tersebut. Dalam kata lain, masyarakat miskin justru akan semakin meningkat. Kenapa?. Jika dilihat secara terkelompok, klasifikasi kategori masyarakat miskin sebagai penerima kompensasi tersebut akan memberikan peluang untuk menambah insentif bagi selisih biaya hidup yang harus ditanggung oleh masing-masing rumah tangga. Sementara itu, terdapat kelompok masyarakat yang berada di luar dari kategori masyarakat miskin tersebut namun tidak tercover oleh subsidi kompensasi ini justru memiliki kerentanan yang juga meningkat. Desakan untuk mengatasi selisih biaya hidup tersebut yang menjadikan kelompok masyarakat menengah ini untuk bergerak masuk ke dalam kategori masyarakat miskin yang nantinya akan menerima kompensasi. Jadi, kebijakan menaikkan BBM dan memberikan kompensasi kepada satu kelompok terendah justru akan menimbulkan efek meningkatknya kuantitas masyarakat miskin dan kemudian berimplikasi terhadap meningkatnya nilai kompensasi yang harus diberikan kepada kelompok tersebut.
Ketiga alur pikir tersebut menunjukkan bahwa kebijakan untuk menyalurkan program-program kompensasi kepada kelompok masyarakat miskin sebagai paket dari kebijakan menaikkan harga BBM bukan merupakan kebijakan yang secara strategis akan mampu mengatasi masalah sosial ekonomi yang timbul akibat tingginya biaya hidup karena meningkatknya harga BBM. Jika menafsirkan bantuan yang diberikan dari program dalam model seperti itu akan meningkatkan akumulasi dana bagi masing-masing kepala keluarga maka bisa dikatakan benar, namun jika mengartikan program-program tadi kemudian akan mampu mengakomodasi kebutuhan hidup keluarga miskin yang jugaakan meningkat secara jangka panjang maka jawabannya adalah tidak tepat.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
             Kesimpulan yang dapat kita ambil dari penjelasan di atas adalah bagaimana kebijakan yang diambil pemerintah mengenai BLT yang dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun malah sebaliknya dimana dengan adanya BLT tersebut masyarakat se akan-akan di manja, secara tidak langsung masyarakat  di ajar untuk bermalas malasan. Ketimbang BLT, masih lebih ideal, jika pemerintah memberikan pancing bagi pemberdayaan rakyatnya. Dana BLT bisa melanjutkan padat karya yang pernah dilaksanakan atau bentuk lain yang sifatnya memberdayakan kemandirian rakyat. Bisa juga diprioritaskan pada pengembangan program home industri, insentif untuk sektor industri dan pertanian yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja, dan tidak kalah pentingnya pemerintah seharusnya mendorong pembangunan infrastruktur desa, sebagai solusi ketimpangan daerah tertinggal dan daerah maju.

B. Kritik/ saran
·         Penyusun berharap  dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai  kebijakan yang diambil pemerintah mengenai bantuan langsung tunai (BLT), meliputi dampak/pengaruh  terhadap masyarakat serta faktor apa saja penentu sehingga timbul kebijakan pemerintah mengenai BLT.
·         Penyusun sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan penulisan ini di masa akan datang.


0 komentar to "Akuntansi Kinerja Pemerintahan - BLT dan Implementasi kebijakan pemerintah"

Posting Komentar

Pages

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers

Web hosting for webmasters