HUKUM TATA LAKSANA - KPK VS POLRI

BAB I
Latar belakang
Langkah tersulit dalam upaya demokratisasi adalah menjalankan perilaku demokrasi mulai dari diri sendiri. Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang baru kembali melangkah ke demokrasi sembilan tahun silam, setelah selama 32 tahun terkungkung dalam penjara besi sistem otoriter Orde Baru. Kita memang membutuhkan waktu tidak seperti membalikkan telapak tangan. Terlebih feodalisme juga masih kental dalam masyarakat kita.
Dari sikap-sikap demokratis yang dijalankan oleh setiap individu itulah nantinya menjadi sebuah koloni besar yang kuat dalam berdemokrasi. Kita tidak bisa berharap banyak demokrasi akan tumbuh subur bila masyarakat sendiri tidak mau berdemokrasi dalam dirinya sendiri. Lembaga-lembaga demokrasi yang kita bangun sejak Reformasi 1998 hanyalah sebuah prosedur demokrasi yang pertumbuhannya akan semakin baik bila dipupuki oleh perilaku demokratis dari setiap individu.
Salah satu perilaku demokrasi yang paling penting adalah menaati peraturan hukum yang berlaku. Apa pun bentuk produk hukum, suka atau tidak suka, masyarakat harus mematuhinya. Demokrasi tanpa penegakan hukum hanya melahirkan anarkisme. Sifat-sifat destruktif inilah yang harus kita hindari. Bukan hanya menimbulkan kekacauan dan merugikan masyarakat luas, anarkisme juga kian menjauhkan kita dari upaya-upaya demokratisasi
Makanya Sebagai masyarakat demokratis yang taat hukum masyarakat Indonesia juga sangat mendambakan keadilan yang merata bagi semua kalangan tanpa ada pengecualian hak dan kewajiban di mata hukum baik yang miskin dan kaya. Oleh karena itu pemerintah Indonesia memiliki lembaga hukum yang berfungsi mengatur serta menjalankan proses hukum di Indonesia sesuai konstitusi yang ada. Namun dengan semakin berjalannya waktu tindak pelanggaran hukum tidak terkendali dalam hal ini meningkatnya kasus KKN (korupsi koluusi dan nepotisme) namun anehnya yang melanggar tersebut adalah aparat pemerintah sendiri bahkan sampai aparat pengegak hukum tersebut yang merupakan pemegang kendali dan tanggung jawab dalam proses penegakan hukum yang ada di Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 2003 presidan Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono membentuk suatu komisi yang yang khusus menangani masalah korupsi yang terjadi di Indonesia.
Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan pembentukan KPK ini secara tidak langsung bahwa kinerja penegak hukum yang ada di Indonesia tidak berjalan maksimal.
Setelah berjalan beberapa waktu KPK membuktikan eksistensinya dalam proses penegakan subremasi hukum khususnya dalam menangani kasus korupsi dengan berhasil i mengungkap kasus korupsi baik yang ada di indonesia, namun belakangan ini muncul satu masalah yang mengaitkan antara KPK itu sendiri dan Lembaga penegak hukum yakni POLRI saat ini masih menjadi buah bibir dari semua kalangan masyarakat Indonesia karena merupakan suatu hal mengherankan dimana masing-masing sebagai lembaga penegak hukum malah saling menjatuhkan satu sama lain.

BAB II
ISU HUKUM
Dalam kasus yang melibatkan antara lembaga penegak hukum PORLI dan Komisi pemberantas korupsi ini adalah dimana beredar isu di kalangan masyrakat luas bahwa adanya skenario "menghabisi" Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nampaknya bukan sekadar isapan jempol. Tanda-tanda pembenaran isu itu sedikit-demi sedikit mulai nampak. Setelah ketua KPK Antasari Azhar tergilas kasus pembunuhan, atas tuduhan menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa orang melakukan sesuatu. Akhirnya mabes Polri secara resmi menahan Chandra dan Bibit setelah keduanya menjalani wajib lapor, Salah satu alasan penahanan adalah keduanya sering menggelar jumpa pers. Dengan melakukan konferensi pers yang di duga ebes porli dapat menggiring opini publik. Dan dapat melarikan diri atau bias saja menghilangkan barang bukti.
Bibit dan Chandra ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan kewenangan. Mereka diduga telah menyalahgunakan kewenangannya saat mencekal bos PT Masaro Radiocom Anggoro Widjojo dan mencabut cekal bos PT Era Giat Prima Joko Soegiarto Tjandra. Bibit dan Chandra disangka pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999, juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto pasal 421 KUHP, dan pasal 12 huruf e juncto pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999. "Hukuman minimal satu tahun maksimal enam tahun.
Penetepan kedua pejabat KPK sebagai tersangka sebenarnya sudah banyak diperkirakan. Dan kondisi ini mengundang banyak keprihatinan dari masyarakat. Sejauh ini dukungan terhadap KPK memang masih terus mengalir. Dengan terjadi banyak demonstrasi dimana mana yang di lakukan para aktivis anti korupsi, mahasiswa, kaum professional bahkan sampai anak-anak turut mendukung KPK sebaliknya PORLI tidak kekurangan dukungan di buktikan dengan aksi-aksi maysarakat yang mendukung PORLI walau aksi dukungan ini tidak sebanyak yang mendukung KPK.
Campur tangan Presiden memang diharapkan sebagai bentuk campur tangan hukum. Tetapi, Presiden diharapkan bisa memilah, mengapa kepentingan oknum kecil itu dibiarkan begitu saja, Dengan bergulirnya waktu akhirnya sidang dengan mendengarkan bukti rekaman yang di laksanakan di MK (mahkamah konstitusi) di laksanakan dengan di saksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia karena di siarkan secara live oleh beberapa stasiun TV. Pada sidang itu masyarakat Indonesia begitu di gemparkan dengan di putarnya rekaman pembicaraan antara beberapa orang yang di duga sebagai petinggi mabes porli dan kejaksaan dengan seoarang pengusaha yang dalam pembicaraan nya mengatur untuk merekayasa agar KPK menjadi lembaga yang patut di salahkan.








BAB III
PEMBAHASAN
Perseteruan KPK dengan Polri masih terus berlangsung, Masyarakat sebagai penonton setia dibuat bingung pada setiap adegan dalam drama ini. Kadang-kadang saling serang, disaat lain bertahan. Satu saat saling kejar-mengejar. Lain waktu nampak adem ayem.
Kisah berseterunya dua lembaga negara yang sama-sama punya tugas melindungi dan melayani masyarakat ini diawali dengan terbunuhnya direktur PRB yang melibatkan Antasari Azhar yang saat itu menjabat sebagai ketua KPK sebagai tersangka. Kemudian ‘drama’ berlanjut dengan tuduhan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK yang berbuntut pada penahanan dan penetapan sebagai tersangka oleh Polri.
KPK yang semula terkesan diam mulai balik angkat bicara bahwa itu semua adalah rekayasa. Serta menyatakan bahwa ada petinggi Polri terlibat kasus Bank Century. Kemudian munculnya rekaman hasil sadapan KPK yang melibatkan banyak aktor disana termasuk petinggi Polri. Dan terakhir adalah pengakuan mengejutkan dari Wiliardi Wizard bahwa kasus Antasari adalah rekayasa.
Jika diamati dari kacamata saya sebagai seorang kaumbiasa maka seolah kita sedang menyaksikan drama kartun Tom and Jerry. Keduanya saling kejar mengejar. Saling serang menyerang. Saling pukul memukul. Kadang Tom mengejar namun satu saat Jerry membalas mengejar. Akan tetapi sebenarnya keduanya saling membutuhkan tatkala berhadapan dengan musuh bersama yang harus dihadapi bersama.
Apabila ditelaah lebih lanjut sebenarnya ada hal yang dapat dikatakan tumpang tindih dalam kewenangan namun sebenarnya itu adalah dalam rangka saling melengkapi keduanya. KPK berwenang menindak dan mengusut serta menerima laporan terkait kasus korupsi. Dalam struktur Polri juga ada bidang atau bagian yang bertugas dan kewenangan pada hal yang sama, yakni mengusut dan menindak kasus korupsi.
Dikatakan tumpang tindih bisa juga, karena masyarakat selalu bingung jika menemukan kasus korupsi akan lapor kemana. Akan tetapi sebenarnya ini merupakan hal saling melengkapi bahwa KPK belum/tidak punya ‘kaki’ sampai tingkat daerah, sementara Polri punya. Sehingga pada kasus-kasus korupsi level lokal dapat dilaporkan pada kepolisian. Namun yang belum jelas adalah bahwa pembagian peran itu.
Jika dan hanya jika tugas dan wewenang penanganan kasus korupsi ada pada KPK, maka Polri ketika menerima laporan masyarakat seharusnya meneruskan pada KPK. Nah, SOP (Standar Operasional Prosedur) ini yang belum ada. Penyamaan persepsi dan prosedur itu mutlak dilakukan, sehingga akan terjalin kerjasama yang manis keduanya dalam menghadapi ancaman musuh yakni koruptor yang merongrong kedaulatan negara. Layaknya Tom and Jerry ketika menghadapi musuh yang mengancam ‘kedaulatan’ tempat mereka bermain. Inilah sekedar analisis seorang kaum biasa tentang ‘perseteruan’ KPK vs Polri akhir-akhir ini.
Berawal dari ditahannya mantan Ketua KPK Antasari Azhar atas dugaan pembunuhan Dirut PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Kemudian merembet pada tudingan penyalahgunaan wewenang (Pasal 23 UU Korupsi jo Pasal 421 KUHP), serta pemerasan (Pasal 12 huruf e jo Pasal 15 UU Korupsi) yang dilakukan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
Melalui testimoninya Antasari sempat membuat kontrovesi dan panas telinga para pimpinan KPK panas. Pasalnya dalam testimoni yang merupakan hasil pertemuan Antasari dengan bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo di Singapura ini disebut-sebut ada pejabat KPK yang menerima uang dari Anggoro. Namun Antasari tidak menyebutkan secara gamblang siapa pejabat KPK yang menerima uang dari Anggoro.
Sampai akhirnya terkuak dalam Laporan Kepolisian Antasari bahwa yang diduga menerima uang itu adalah Chandra dan Bibit. Tapi, karena penyerahannya tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui perantara, Polisi tidak dapat menemukan bukti penyerahan uang itu kepada Chandra dan Bibit. Yang ditemukan penyidik Direktorat III Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri hanyalah bukti tanda terima uang sebanyak Rp5,1 miliar oleh Ary Muladi. Meski demikian, penyidik tetap bersikeras mencari benang merah aliran uang itu. Baik, dengan tetap memakai keterangan Ary dalam Berita Acara Pemeriksaannya (BAP) tanggal 15 Juni 2009 yang sudah dicabut, maupun dengan menghubung-hubungkan dugaan pemerasan tersebut dengan pencekalan yang dilakukan terhadap Anggoro.
Tengok saja, dalam dua kali rapat di Komisi III DPR. Meski mengaku penyidik tidak memilki bukti aliran uang itu berlabuh ke dalam kocek Chandra-Bibit, Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD) tetap kekeuh bukti penyidik miliki cukup kuat untuk menyeret Chandra-Bibit ke meja hijau. Bahkan, dengan panjang lebarnya, BHD menguraikan motif dan modus pemerasan yang dilakukan Chandra-Bibit. Sampai-sampai nama MS Kaban pun ikut dikait-kaitkan dalam penjelasan itu.
MS Kaban, dinilai BHD memiliki kedekatan emosional dengan Chandra. Sehingga, agar dugaan korupsi terhadap MS Kaban tidak dapat diproses KPK, Anggoro sengaja dicekal. Karena pencekalan itu hanya ditandatangani satu pimpinan KPK di bidang penindakan saja, BHD menganggapnya sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Yang mana, berlanjut pada dugaan pemerasan terhadap Anggoro.
Tapi tidak serta merta dapat diterima Komisi III DPR. Pimpinan rapat, Benny K Harman, ketika itu malah sempat mengingatkan, jangan-jangan nama kedua pimpinan KPK ini hanya dicatut. Selain karena penyidik tidak memiliki bukti penyerahan uang itu, juga karena Anggoro tidak pernah berhubungan langsung dengan Chandra-Bibit.
Tapi, BHD dengan yakinnya menyatakan, “Adanya aliran dana ke J (diduga Jasin) Rp1 miliar, lalu ke BS (Bibit) Rp1,5 Miliar, Mr.X di Pasar Festival Rp250 juta, pada CH (Chandra) Rp1 Miliar dan pada penyidik yang diketahui tempat duduknya Rp400 juta. Ini dana yang mengalir”. Dan itu dapat dibuktikan dengan adanya karcis parkir, rekaman CCTV, dan hubungan telepon antara Ary dengan pejabat-pejabat KPK itu. “Ada Call Data Record-nya (CDR) dan (bukti) saat mobil-mobilnya ada di Bellagio dan Pasar Festival. Tanggalnya jelas, kapan masuk di Bellagio-nya sebanyak 3 kali (Juli-Agustus). Pasar Festival, (Maret-Mei) ada 5 kali. Kemudian, hubungan telepon jelas, ada yang 229 kali, 94 kali, 27 kali, 313 kali, 88 kali, dan 16 kali”.
Sayang, bukti-bukti ini tidak jadi terungkap karena kasus Chandra-Bibit tidak jadi dibawa ke pengadilan. Terkuaknya percakapan Anggodo dengan sejumlah pejabat Kejaksaan Agung dan Mabes Polri, membuat masyarakat dan sejumlah kalangan menduga ada rekayasa di balik penanganan kasus Chandra-Bibit. Dan hal ini memicu masyarakat dan para pendukung Chandra-Bibit untuk mendesak Presiden membentuk tim verifikasi. Dan hasil rekomendasi tim yang diketuai Adnan Buyung Nasution itu menunjukan bahwa tidak cukup bukti untuk melanjutkan kasus Chandra-Bibit.
Menanggapi hasil rekomendasi ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun berpendapat sebaiknya kasus Chandra-Bibit ini tidak dibawa ke pengadilan, karena mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Kemudian, terkait dengan bergentayangannya makelar kasus atau mafia perkara di tiga institusi penegak hukum, Polri, Kejaksaan, dan KPK, Presiden menginstruksikan agar dilakukan penertiban.
Walau Presiden sudah memberikan arahan untuk tidak membawa kasus Chandra-Bibit ini ke pengadilan, Polri tetap bersikeras melengkapi petunjuk penuntut umum. Namun, tak lama setelah berkas Chandra-Bibit dinyatakan P21 (lengkap secara formil dan materil), penuntut umum mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).
Dan setelah itu, Polri melakukan mutasi dan promosi terhadap sejumlah Perwira Tinggi (Pati) dan Perwira Menengah (Pamen). Yang salah satunya adalah Kabareskrim Susno Duaji. Jenderal bintang tiga ini dimutasikan menjadi Pati Mabes Polri, atau lebih dikenal dengan istilah Pati non-job. Jabatan Kabareskrim diisi oleh Kepala Koordinator Staf Ahli Kapolri, Ito Sumardi.





BAB IV
• Kesimpulan
Menurut saya kesimpulan yang dapat di tarik dari permasalahan yang telah di bahas di atas adalah sebagai penegak hukum dalam hal ini POLRI dan KPK komisi pemberantas korupsi seharusnya bisa menjaga kredibilitasnya sebagai penegak hukum yang professional dimata masyarakat, namun saat ini malah benbanding terbalik dengan kenyataan dimana para penegak hukum khususnya PORLI di mata masyarakat sudah tidak mendapat kepercayaan yang penuh karena bukan rahasia umum lagi kalau saat ini hukum di Indonesia dapat di beli dan cenderung hanya memihak pada oknum yang berduit atau pun yang berpangkat. Sehingga dalam kasus yang sering di sebut dengan cicak versus buaya ini masyarakat luas lebih memilih untuk mendukung KPK di bandinkan PORLI dengan melihat segala kejangalan dan bukti-bukti yang ada. Apa pun hasil dari kasus ini saya mengharapkan agar yang benar bias jadi pemenang dan yang kalah harus mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai dengan konstitusi.

• Saran/kritik
Saran saya sebagai penulis semoga semua masalah yang terjadi di Negara kita ini, khusunya masalah KKN dan masalah perseteruan antara KPK dan PORLI dapat segera terselesaikan, serta mendapatkan solusi yang terbaik untuk kedua belah pihak demi kelangsungan penegakan hukum di Negara kita yang tecinta ini,


0 komentar to "HUKUM TATA LAKSANA - KPK VS POLRI"

Posting Komentar

Pages

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Followers

Web hosting for webmasters